PENGOLAHAN SUMBER DAYA IKAN INDONESIA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATAKULIAH
Ekonomi Perikanan
Yang dibina oleh
Dr. Ir. Pudji Purwanti, MP
Oleh
Ovilia Maya Puspabuana
115080300111008
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA MALANG
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
2013
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang
terjadi dibeberapa Negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas
perikanan dari waktu ke waktu.Meningkatnya permintaan ikan ini mengarah pada
jumlah yang tidak terbatas, mengingat kegiatan pembangunan yang merupakan
factor pendoron dari permintaan ikan berlangsung secara terus
menerus. Sementara disisi lain, permintaan ikan tersebut dipenuhi dari
sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam memang terbatas. kecendrungan
meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang berkembang pesatnya industri
perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Hanya
sayangnya, perkembangan industri perikanan ini lebih banyak dilandasi oleh
pertimbangan teknologi dan ekonomi, dan sekaligus mengabaikan pertimbangan
lainnya seperti lingkungan, social budaya serta kelestarian sumberdaya
perikanan. Akibatnya, jaminan usaha perikanan yang berkelanjutan menjadi
tanda tanya, disamping upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan menjadi semakin
jauh.
Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup
penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena adanya
beberapa factor, diantaranya adalah :
ü Sekitar 2.274.629 orang nelayan dan 1.063.140 rumah
tangga budidaya, menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan.
ü Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup
signifikan dan cendrung meningkat dari tahun ketahun.
ü Mulai terpenuhinya kebutuhan sumber protein hewani bagi sebagian
masyarakat.
ü Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, sehingga diharapkan
mampu mengurangi angka pengangguran dan
ü Adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia
Dalam kerangka pembangunan nasional, maka peningkatan
kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan
dampak negative dimasa yang akan datang. Disinilah peranan pengelolaan
potensi perikanan menjadi sangat strategis. Disisi lain, disadari juga
bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan pertumbuhan ekonomi beberapa negara di
dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan makanan termasuk
didalamnya ikan.Disamping itu, timbulnya kesadaran masyarakat akan kesehatan
telah menggeser pola makan masyarakat, khususnya sumber protein hewani dari
yang bersifat “red meal” (sapi, babi dan sebagainya) ke “white
meal” (ikan).Kondisi tersebut diatas telah berimplikasi pada
meningkatnya permintaan ikan dunia.
2.
PEMBAHASAN
2.1 SUMBERDAYA
IKAN SEBAGAI SUMBERDAYA ALAM
Sumberdaya alam (natural resources) pada
dasarnya mempunyai pengertian segala sesuatu yang berada dibawah atau diatas
bumi, termasuk tanah itu sendiri (Suparmoko, 1997). Dengan kata lain,
sumberdaya alam adalah sesuatu yang masih terdapat didalam maupun diluar bumi
yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses
produksi. Pengertian ini berbeda dengan barang sumberdaya (resources
commodity), karena merupakan sumberdaya alam yang sudah diambil dari dalam
atau atas bumi dan siap dipergunakan atau dikombinasikan dengan factor produksi
lainnya untuk menghasilkan produk baru yang dapat dimanfaatkan baik oleh
konsumen maupun produsen.
Sumberdaya alam mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu Negara (khususnya Negara
sedang berkembang), dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan
mengakibatkan persediaan sumberdaya alam yang tersedia akan semakin
berkurang. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu
menuntut adanya barang sumberdaya dalam jumlah yang tinggi pula, dan barang
sumberdaya ini diambil dari persediaan sumberdaya alam yang ada. Dengan
demikian, terdapat hubungan yang “positif” antara jumlah barang sumberdaya
dengan pertumbuhan ekonomi, disamping juga hubungan yang “negative” antara
persediaan sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomi.
Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita bahwa
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara
berhati-hati akan dapat mengguras persediaan sumberdaya alam yang
ada. Kondisi ini pada gilirannya nanti akan dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam
rangka pembangunan harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu
mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.
Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang
bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat
memperbaharui diri. Disamping sifatrenewable, menurut Widodo
dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat“open
access” dan “common property” yang artinya
pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat
sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :
1) Tanpa adanya pengelolaan akan
menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi
berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
2) Perlu adanya hak kepemilikan
(property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh
masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private
property rights).
Dengan sifat-sifat sumberdaya seperti diatas, menjadikan sumberdaya ikan
bersifat unik, dan setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya
tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara. Pada hakekatnya
masalah sumberdaya milik bersama, berkaitan erat dengan persoalan-persoalan
eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh
karena adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa sumberdaya milik
bersama adalah sumberdaya milik setiap orang. Oleh karena itu, dapatkan
sumberdaya tersebut selagi masih baik dan mengapa kita harus menghematnya,
sementara orang lain menghabiskannya. Kondisi diatas mengakibatkan sumberdaya
milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan adalah memungkinkan bagi setiap
orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk untuk mengambil manfaat. Selanjutnya,
dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk,
maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif
berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau
perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Dengan
demikian, secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan
pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti
biaya eksternalitas (disekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan
kecendrungan pengelolaan secara deplesi.
Pengertian deplesi disini adalah suatu cara pengambilan sumberdaya alam
secara besar-besaran, yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan
bahan mentah. Dalam kaitannya dengan sumberdaya perikanan yang sifatnya
dapat diperbaharui, tindakan deplesi walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan
konservasi akan tetap melekat dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.
Lebih lanjut,
Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh
sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus
tersebut adalah :
1) Ekskludabilitas
Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses
ke sumberdaya. Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan
sangat mahal oleh karena sifat phisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak,
disamping lautan yang cukup luas.Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah
memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya,
sementara disisi lain otoritas menejemen sangat sulit untuk mengetahui serta
memaksa mereka untuk keluar.
2) Substraktabilitas
Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat
menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang
lain.Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama
dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan
orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian,
sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada
munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif.
3) Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama
adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif
pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas menejemen.
2.2. PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN
Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai
dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan
keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin
kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO,
1997).Sementara Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum,
tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk :
1). Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta
tindakan perbaikan (enhancement).
2). Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan social para nelayan serta
3). Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.
2.2.1.
MODEL PENGELOLAAN
Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan
pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield)
atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model
pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama
Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan
biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam
waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu
stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) factor utama, yaitu rekrutment,
pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan
sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource
oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh
hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya
tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi
pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi
pada manusia (social oriented).
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan
pendekatan “Maximum Sustainable Yield” telah mendapat tantangan
cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian“yield” yang
maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah “diminishing return” yang
menunjukkan bahwa kenaikan “yield” akan berlangsung semakin
lambat dengan adanya penambahan “effort” (Lawson,
1984). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan
sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan “Maximum
Economic Yield” atau lebih popular dengan “MEY”.Pendekatan
ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan
selisih maksimum antara total revenue dan total cost.
Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian
melahirkan konsep “Optimum Sustainable Yield” (OSY),
sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985).Secara umum
konsep ini dimodifikasi dari konsep “MSY”, sehingga menjadi relevan baik
dilihat dari sisi ekonomi, social, lingkungan dan factor lainnya.Dengan demikian,
besaran dari “OSY” adalah lebih kecil dari “MSY” dan
besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Total
Allowable Catch”(TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya adalah :
1). Berkurangnya
resiko terjadinya deplesi dari stok ikan
2). Jumlah
tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar
3). Fluktuasi TAC
juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu
Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan
Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta
ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka
4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan demikian, masih ada cukup
peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Namun demikian,
yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zone penangkapan yang kondisi
sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya
(over fishing), yaitu di perairan Selat Malaka dan perairan Laut
Jawa. Akan tetapi di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa kelompok
ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat Malaka serta ikan
demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya.
Sementara di 7 (tujuh) zone penangkapan lainnya, sekalipun tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah potensi
lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi “over
fishing”. Sebagai contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina
Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut
Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan
sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka
perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada
tidak “collapse”. Informasi yang berkaitan dengan potensi dan
penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan
oleh “Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut” pada tahun
1998. Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia
dibagi menjadi 9 (sembilan) zone, yaitu :
1) Selat Malaka
2) Laut Cina Selatan
3) Laut Jawa
4) Selatan
Makasar dan Laut Flores
5) Laut Banda
6) Laut Seram dan
Teluk Tomini
7) Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik
8) Laut Arafura
9) Samudra Hindia
Sementara dalam menentukan stok sumberdaya ikan di
perairan Indonesia, dipergunakan beberapa metoda sesuai dengan jenis dan sifat
sumberdaya ikan Dalam kaitan ini terdapat beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan didalam mengelola sumberdaya perikanan, agar
tujuan pengelolaan dapat tercapai.Pendekatan dimaksud sebagaimana dikemukakan
oleh Gulland dalam Widodo dan Nurhudah (1985) adalah sebagai
berikut :
1). Pembatasan
alat tangkap
2). Penutupan
daerah penangkapan ikan
3). Penutupan
musim penangkapan ikan
4). Pemberlakuan
kuota penangkapan ikan
5). Pembatasan
ukuran ikan yang menjadi sasaran
6). Penetapan
jumlah hasil tangkapan setiap kapal
2.2.2.
PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN
Dalam pelaksanaanya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan yang sangat
penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun
1985, yang intinya memberikan mandat kepada pemerintah didalam mengelola
sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah
didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan
dalam 3 (tiga fungsi), yaitu :
1). Fungsi Alokasi,
yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan
2). Fungsi
Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran
sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping
adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
3). Fungsi
Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak
berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan
tatanan social ekonomi masyarakat.
Didalam menjalankan fungsi-fungsi diatas, maka kiranya pemerintah perlu
mempertimbangkan cara pandang teleologik sebagaimana diungkapkan oleh
Hull dalam Nasoetion (1999), yaitu dengan selalu melihat
tujuan atau akibat dari suatu tindakan.Dengan demikian, dalam etika teleologi suatu
tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut mempunyai tujuan baik dan
mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf, 2002). Etika teleology sendiri
dikelompokkan menjadi 2 (dua), dimana salah satunya adalah utilitarianisme yang
banyak dipergunakan sebagai pegangan didalam menilai sebuah kebijakan yang
bersifat public. Selanjutnya (Keraf, 2002) juga mengemukakan terdapat 3 (tiga)
kriteria yang dipergunakan dalam teori utilitarianisme sebagai dasar tujuannya,
yaitu :
1). Manfaat, yaitu
kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.
2). Manfaat
terbesar, yaitu kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat
lebih besar atau terbesar bila dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan
alternatif lain. Dalam kaitan ini, apabila semua alternatif yang ada
ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan atau kebijakan yang
baik adalah yang mendatangkan kerugian terkecil.
3). Manfaat terbesar
bagi sebanyak mungkin orang,artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai
baik apabila manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak
orang. Semakin banyak orang yang menikmati akibat baik tadi, maka semakin
baik kebijakan atau tindakan tersebut.
Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan
masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources
problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60%
produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak
menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan nelayan.Kaiser dan Forsberg (2001)
memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan didalam pengelolaan perikanan,
yaitu :
1). Jumlah
stakeholder perikanan adalah banyak
2). Kebijakan
pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder
3). Hormati
sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
4). Kebijakan
harus mempertimbangkan aspek social, politik dan ekonomi
Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya
telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia. Hanya
saja, pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan
sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat (Government
Based Management). Dalam pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai
dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan.Sedangkan kelompok
masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan
dari pemerintah.Menurut Satria dkk, (2002), pengelolaan perikanan
seperti ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah :
1). Aturan-aturan yang
dibuat menjadi kurang terinternalisasi didalam masyarakat, sehingga menjadi
sulit untuk ditegakan.
2). Biaya transaksi
yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar,
sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
Daftar Pustaka
Food and Agricultural Organization,
1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for
Responsible Fisheries, No. 4 82p. Rome.
Cunningham. S, M.R. Dunn and D.
Whitmarsh, Fisheries Economics. An Introduction. Mansell
Publishing Limited. London.
Dahuri, R, 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan
Indonesia. Jakarta.
Keraf, A.S, 2002. Etika
Lingkungan. Penerbit Buku Kompas.Jakarta.
Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut
di Perairan Indonesia. LIPI.Jakarta.
Lawson. R.M, 1984. Economics of
Fisheries Development.Fraces Pinter (Publisher). London.
Nasoetion, A.H, 1999. Pengantar
Ke Filsafat Sains. PT. Pusaka Litera Antar Nusa. Bogor.
Suparmoko, M, 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. (Suatu
Pendekatan Teoritis).Ed.2. BPFE. Yogyakarta.
Widodo, J dan M. Nurhudah, 1995. Pengelolaan
Sumberdaya Ikan. Sekolah Tinggi Perikanan.Jakarta.
Widodo, J dan S.
Nurhakim, 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan
dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. 28 Oktober
s/d 2 November 2002. Hotel Golden Clarion. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar